Instrumen Obligasi Negara merupakan salah satu investasi yang diminati oleh investor domestik. Data menunjukan bahwa investor domestik memiliki kepemilikan sebesar 2.528 triliun rupiah atau 73% pangsa pasar SBN pada tahun 2020, naik dari 61% pada 2019. Data juga menunjukan kenaikan kepemilikan domestik yang signifikan di masa pandemi. Hal ini mencerminkan dua hal. Pertama, masyarakat Indonesia semakin tertarik untuk berinvestasi. Return yang diberikan surat utang negara jauh lebih tingi dibandingkan dengan bunga deposito. Kedua, di tengah pandemi Covid-19, penduduk Indonesia, terutama kelas menengah, lebih memilih menyimpan uangnya ketimbang berbelanja.
Di sisa semester tahun 2021 ini, pemerintah berniat menerbitkan tiga jenis Surat Berharga Negara (SBN) ritel. Ketiganya adalah SR015 pada Agustus, ORI020 pada September, dan Sukuk Tabungan (ST) seri ST008 pada November.
Jenis Surat Berharga Negara
Nah untuk yang masih belum paham mengenai SBN, mari kita pertama-tama lihat jenis-jenis SBN. Pada dasarnya, SBN terdiri dari dua jenis yakni Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Nah, khusus untuk SUN ada beberapa jenis di dalamnya. Mereka adalah Obligasi Negara Ritel (ORI) dan Savings Bond Ritel (SBR).
Dari penjelasan di atas jelas SBR dan ORI sebenarnya sama-sama SBN ritel. Dasar hukum kedua instrumen investasi ini juga sama, yaitu UU nomor 2002 tentang Surat Utang Negara (SUN). Untuk berinvestasi dalam SBR atau ORI pun, sama-sama bisa dilakukan dengan modal minimal Rp 1 juta dan maksimal Rp 3 miliar. Karena diterbitkan oleh negara, maka pembayaran pokok dan kupon (bunga) baik SBR dan ORI juga sama-sama dijamin negara.
Lantas bagaimanakah aspek perpajakan dari investasi SBR dan ORI? Sebelum membahas hal ini, ada baiknya kita mengetahui perbedaan antara SBR dan ORI. Perbedaan SBR dan ORI yang mempengaruhi aspek perpajakannya paling mendasar terdapat pada kupon dan perdagangan di pasar sekunder. Berikut ulasannya:
Kupon dari ORI memiliki besaran tetap sampai dengan obligasi tersebut jatuh tempo. Jika terjadi kenaikan atau penurunan suku bunga Bank Indonesia, maka kupon ORI ini tidak akan menyesuaikan. Berbeda dengan SBR yang memiliki kupon mengambang dengan batas minimal (floor). Kupon SBR akan disesuaikan dengan perubahan BI 7 Days Reverse Repo Rate setiap tiga bulan.
ORI bisa dijual kembali sebelum jatuh tempo di pasar sekunder, alias tradable. Perdagangan di pasar sekunder dibuka setelah minimum holding period dari ORI selesai, yakni dua kali pembayaran kupon. Berbeda dengan ORI, SBR bersifat non-tradable. Investor harus memegang instrumen SBR sampai jatuh tempo atau menggunakan opsi pengembalian redemption yang harus memenuhi syarat tertentu. Oleh karena itu, ORI di pasar sekunder memiliki potensi keuntungan penjualan atau Capital Gain. Dalam hal ini, Capital Gain disebut sebagai Diskonto Obligasi.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ketika suku bunga acuan Bank Indonesia meningkat maka SBR akan lebih diuntungkan dengan kenaikan tingkat bunga kupon SBR. Namun, ketika suku bunga acuan Bank Indonesia turun, maka ORI akan lebih diuntungkan dari keuntungan atau potensi Capital Gain berupa Diskonto Obligasi (perbedaan nilai jual dengan nilai perolehan).
Tarif PPh Final Bunga Obligasi Pemerintah
Aturan mengenai PPh Final bunga obligasi pemerintah ini sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2013 tentang perubahan atas PP No. 16 Tahun 2009 Tentang Pajak Penghasilan Berupa Bunga Obligasi.
Mulai September, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2021 tarif Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Bunga Obligasi yang diterima oleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap turun menjadi sebesar 10% (dari tarif yang sebelumnya ini sebesar 15% final).
Besarnya PPh Final bunga obligasi yang ditetapkan berdasarkan PP ini adalah:
Contoh Perhitungan PPh Final Obligasi
Pada tanggal 1 Juli 2020, PT. ABC (emiten) menerbitkan Obligasi dengan kupon (interest bearing bond) sebagai berikut :
PT. XYZ (investor) pada saat penerbitan perdana membeli 10 lembar Obligasi dengan harga di bawah nilai nominal (at discount), yaitu sebesar Rp9.000.000,00 per lembar.
Penghitungan kupon dan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh final) yang terutang oleh PI. XYZ pada saat jatuh tempo kupon tanggal 31 Desember 2021 adalah sebagai berikut:
PPh final atas kupon dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran (cash settlement).
Dalam kenyataanya, harga perolehan Obligasi dengan kupon (interest bearing bond) pada saat penerbitan perdana tidak harus selalu sama dengan nilai nominalnya. Pembeli bisa memperoleh Obligasi dengan harga di bawah nilai nominal (at discount) atau di atas nilai nominal (at premium). Pada hakekatnya selisih harga beli di bawah atau di atas nilai nominal tersebut merupakan penyesuaian tingkat bunga Obligasi yang diperhitungkan ke dalam harga perolehan.
Pada tanggal 31 Maret 2022, PT. XYZ menjual seluruh Obligasi yang dimilikinya kepada PT. PQR melalui perusahaan efek PT. MNO Sekuritas di over the counter (OTC), dengan harga jual Rp 10.400.000,- per lembar termasuk bunga berjalan.
Penghitungan bunga berjalan, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh PT. XYZ pada saat penjualan Obligasi tanggal 31 Maret 2022 adalah sebagai berikut :
Karena dikenakan PPh final dengan tarif yang sama, bunga berjalan dan diskonto dapat dihitung sekaligus yaitu :
PPh Final dipotong oleh PT. MNO Sekuritas selaku perantara.