Welcome to MSM Consulting

News

aturan perpajakan perkebunan kelapa sawit
ARTICLE 2025.07.23

Peraturan Pajak Perkebunan Kelapa Sawit: PPN, PPh, PBB

GET NOTIFIED
SHARE

Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sektor strategis yang berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia, baik dari sisi ekspor maupun penyerapan tenaga kerja. Namun dibalik potensi ekonominya yang besar, sektor ini juga memiliki tanggung jawab perpajakan yang perlu dipahami oleh pelaku usaha maupun petani sawit, mulai dari kewajiban atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), hingga Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Artikel ini akan membahas secara ringkas dan jelas tentang ketentuan pajak yang berlaku di sektor perkebunan kelapa sawit, agar pelaku usaha dapat menjalankan kewajiban pajaknya dengan tepat dan sesuai aturan.


Aturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perkebunan Kelapa Sawit

Hasil Perkebunan Kena Pajak PPN

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 64/PMK.03/2022, hasil perkebunan termasuk dalam kategori Barang Kena Pajak (BKP), sehingga penyerahannya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).


Komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, kakao, kopi, karet, teh, dan lainnya secara eksplisit disebut dalam lampiran peraturan tersebut. PPN dikenakan atas penyerahan hasil perkebunan dalam kondisi sudah mengalami pengolahan tertentu, sesuai dengan klasifikasi dan jenis barang hasil olahan.


Tarif Efektif PPN untuk Hasil Perkebunan

Dengan diberlakukannya PMK 11 Tahun 2025, pemerintah melakukan penyesuaian terhadap besaran tertentu PPN. Per tanggal 4 Februari 2025, tarif efektif PPN atas penyerahan hasil perkebunan (termasuk sawit) ditetapkan sebesar 1,1% dari harga jual. Nilai tersebut diperoleh dari: 


= 10% x 12% x DPP Nilai Lain, dengan DPP Nilai Lain = 11/12 × Nilai Jual


Dimana, 

  1. DPP = 11/12 × Nilai Jual
  2. PPN = 10% × 12% × DPP
        = 0,1 × 0,12 × (11/12 × Nilai Jual)
        = 0,011 × Nilai Jual atau 1,1% dari harga jual

 

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Perkebunan Kelapa Sawit

Pemotongan oleh Industri atau Eksportir

Selain PPN, sektor perkebunan juga dikenai PPh Pasal 22, terutama dalam transaksi penjualan hasil kebun oleh petani atau kelompok tani kepada industri atau eksportir. Berdasarkan PMK Nomor 34/PMK.010/2017, industri atau eksportir yang membeli bahan-bahan hasil perkebunan wajib memotong PPh Pasal 22 dari transaksi pembelian tersebut.


Baca juga: Pajak Minimum Global PMK 136/2024: Tarif, Jenis dan Siapa Saja yang Terpengaruh?


Tarif Pajak Ekspor Perkebunan / Kelapa Sawit

Tarif PPh Pasal 22 yang dikenakan atas pembelian hasil perkebunan oleh badan usaha industri atau eksportir adalah sebesar 0,25% dari harga pembelian (di luar PPN). Artinya, setiap transaksi pembelian hasil perkebunan oleh badan usaha akan secara otomatis dikenai pungutan PPh ini sebagai bagian dari kewajiban perpajakan yang berlaku.


Aspek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Lahan Perkebunan Kelapa Sawit

Perkebunan sawit sebagai bagian dari kegiatan usaha perkebunan juga dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 31/PJ/2014. Berikut adalah poin-poin penting yang perlu diketahui oleh pelaku usaha perkebunan mengenai klasifikasi objek pajak, syarat subjektif, dokumen pelengkap, dan cara perhitungannya.


Tarif PBB Sektor Perkebunan

Karena termasuk sektor PBB-P3 (Perkebunan, Pertambangan, Kehutanan), PBB lahan perkebunan dikenakan tarif tetap 0,5% dengan NJKP sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Rumus Perhitungan PBB Perkebunan

= Tarif x Dasar Pengenaan Pajak

= Tarif x NJKP

= Tarif x (40% x (NJOP-NJOPTKP))


NJOP Bumi untuk Objek Pajak PBB Sektor Perkebunan

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah dasar pengenaan PBB. NJOP bumi untuk objek pajak sektor perkebunan dihitung berdasarkan:


NJOP Bumi = Total luas areal x NJOP per m²


Nilai NJOP ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap 3 tahun sekali. Namun, di daerah tertentu bisa ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan wilayah.


Sedangkan NJOP Bangunan = Total luas bangunan x NJOP bangunan per m²


Klasifikasi Objek Pajak Perkebunan

Objek pajak PBB sektor perkebunan adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan kegiatan usaha perkebunan, termasuk yang digunakan untuk budidaya maupun pengolahan hasil.


Berikut klasifikasi areal yang dikenakan PBB:

  • Areal Produktif: Lahan yang telah ditanami tanaman perkebunan (misalnya kelapa sawit).
  • Areal Belum Produktif: Termasuk lahan yang belum diolah, sudah diolah tapi belum ditanami, dan area pembibitan.
  • Areal Tidak Produktif: Lahan dalam kawasan perkebunan yang tidak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan usaha.
  • Areal Pengaman: Area yang berfungsi sebagai penunjang/pengaman usaha (misalnya jalur akses atau area buffer).
  • Areal Emplasemen: Digunakan untuk bangunan, pekarangan, dan fasilitas penunjang lain.

Sebagai catatan: Areal di luar lima klasifikasi ini tidak dikenai PBB Perkebunan.


Perizinan sebagai Syarat Subjektif Objek Pajak Sektor Perkebunan

Untuk dikenakan PBB Perkebunan, suatu kegiatan usaha harus memiliki izin resmi. Berikut jenis perizinan yang menjadi syarat subjektif pengenaan PBB sektor perkebunan:

  • Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B): Diperlukan untuk usaha budidaya tanaman perkebunan.
  • Izin Usaha Perkebunan (IUP): Diperlukan jika usaha budidaya terintegrasi dengan pengolahan hasil perkebunan.

Pihak yang dikenai pajak adalah orang pribadi atau badan hukum yang memiliki hak atas tanah/bangunan dan menguasai serta memperoleh manfaat dari objek pajak tersebut.


Dokumen Pendukung Isian SPOP untuk Objek Pajak PBB Sektor Perkebunan

Saat mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) untuk PBB sektor perkebunan, wajib pajak perlu melampirkan sejumlah dokumen pendukung, antara lain:

  • Surat Izin Usaha Perkebunan (IUP atau IUP-B)
  • Peta Areal/Lokasi Kebun
  • Data Luas Lahan dan Bangunan
  • Rincian jenis tanaman, umur tanaman, dan masa produktif
  • Nilai perolehan tanah dan bangunan
  • Surat/dokumen lainnya yang relevan

Dokumen-dokumen ini akan digunakan untuk menentukan nilai jual objek pajak dan klasifikasi areal.


Dengan mengetahui ketentuan terkait PPN, PPh, dan PBB—serta mekanisme perhitungannya—pelaku usaha dapat merencanakan aktivitas bisnis secara lebih efisien dan menghindari risiko sanksi. Seiring dengan berkembangnya regulasi perpajakan, penting bagi para pelaku industri dan petani untuk terus memperbarui informasi dan berkonsultasi dengan ahli pajak agar seluruh kewajiban dapat dipenuhi dengan benar.


Bagi kamu yang membutuhkan informasi lebih lanjut mengenai artikel ini atau konsultasi perpajakan lainnya, hubungi kami sekarang!


MSM Consulting adalah tax consultant jakarta terpercaya yang telah menangani ratusan klien dari berbagai industri serta melayani jasa konsultan pajak pribadi secara online maupun tatap muka. 

 

TALK TO US

Tell us what you need or visit us.

Direct to Google Maps