Sebagai entitas yang terdaftar dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak Badan di Indonesia memiliki serangkaian kewajiban perpajakan yang harus dipatuhi sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku. Kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan ini tidak hanya mencerminkan tanggung jawab hukum suatu badan usaha, tetapi juga berkontribusi pada kelancaran administrasi perpajakan serta stabilitas keuangan negara.
Pemahaman yang mendalam mengenai kewajiban pajak sangat diperlukan untuk memastikan bahwa setiap kewajiban dapat dipenuhi dengan benar dan tepat waktu, sehingga badan usaha dapat menghindari potensi sanksi administratif, seperti denda dan bunga akibat keterlambatan atau kelalaian dalam pembayaran dan pelaporan pajak. Lalu, apa saja kewajiban perpajakan yang wajib diperhatikan dan dipenuhi oleh setiap Wajib Pajak Badan di Indonesia? Simak selengkapnya di bawah ini!
Indonesia menerapkan sistem perpajakan self-assessment, di mana Wajib Pajak (WP) bertanggung jawab penuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dalam sistem ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk :
Namun, apabila terjadi kesalahan dalam pelaporan, Wajib Pajak masih memiliki hak untuk melakukan pembetulan SPT sebelum Direktorat Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan. Hal ini memberikan fleksibilitas bagi Wajib Pajak untuk memastikan kepatuhan pajaknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Baca juga: PMK 15/2025: Regulasi Terbaru Pemeriksaan Pajak
Wajib Pajak Badan bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pembukuan yang sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku untuk mencerminkan kondisi usaha secara akurat.
Pembukuan harus dilakukan secara sistematis dan terstruktur guna memastikan transparansi serta akuntabilitas keuangan. Dalam pelaksanaannya, pembukuan harus mencakup aspek - aspek berikut :
Seluruh dokumen pembukuan, termasuk buku, catatan, serta dokumen dalam bentuk elektronik, wajib disimpan selama 10 tahun di lokasi tempat kedudukan badan usaha di Indonesia. Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan ketersediaan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan dalam pemeriksaan oleh otoritas perpajakan serta keperluan audit keuangan.
SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan wajib dilaporkan paling lambat empat bulan setelah berakhirnya Tahun Pajak, yang umumnya jatuh pada 30 April tahun berikutnya. Pelaporan dapat dilakukan secara elektronik melalui e-Form yang tersedia pada laman resmi Direktorat Jenderal Pajak berikut djponline.pajak.go.id.
Jika Wajib Pajak Badan terlambat atau tidak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, maka dapat dikenakan sanksi sebagai berikut :
Baca juga: KEP-67 Relaksasi: Penghapusan Sanksi Administratif Pajak
Pada saat pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak Badan diberikan pilihan untuk menentukan skema perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) terutang yang akan digunakan. Terdapat dua skema yang dapat dipilih, yaitu :
Skema ini berlaku bagi Wajib Pajak Badan berbentuk koperasi, Commanditaire Vennootschap (CV), Perseroan Terbatas (PT), serta Badan Usaha Milik Daerah atau Desa (BUMD/BUMDes) dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar per Tahun Pajak. Wajib Pajak yang memilih skema pajak final wajib melampirkan Laporan Peredaran Bruto dalam pelaporan SPT Tahunan PPh.
Namun, ketentuan tarif PPh Final UMKM tidak dapat diterapkan pada :
Batas waktu pembayaran PPh Final UMKM ditetapkan hingga tanggal 15 pada bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Selain itu, penggunaan tarif pajak final memiliki batasan waktu tertentu yang disesuaikan dengan bentuk badan usaha :
Baca juga: Berakhirnya PPh UMKM 0,5%: Pilih Orang Pribadi atau CV/PT?
Apabila peredaran bruto telah melebihi Rp4,8 miliar atau jangka waktu penggunaan tarif pajak final telah berakhir, maka perhitungan Pajak Penghasilan harus mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang - Undang Pajak Penghasilan.
Apabila peredaran bruto Wajib Pajak Badan tidak melebihi Rp 50 Miliar, maka terhadap bagian Rp 4,8 Miliar pertama akan dikenakan tarif 11% sesuai dengan ketentuan Pasal 31E Undang - Undang Pajak Penghasilan.
Pajak Penghasilan yang terutang dapat dikurangi dengan kredit pajak yang telah dibayarkan sebelumnya, sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Kredit pajak tersebut mencakup :
Apabila SPT Tahunan menunjukkan kekurangan pembayaran pajak atau PPh Pasal 29, maka jumlah tersebut wajib dilunasi sebelum pelaporan SPT Tahunan.
Sebaliknya, jika terjadi kelebihan pembayaran pajak atau PPh Pasal 28A, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atau restitusi kepada DJP. Proses restitusi ini akan melalui tahapan verifikasi dan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perpajakan sebelum disetujui dan dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Baca juga: Tarif PPh Badan Terbaru 2024, Lebih Rendah 3% Dengan Syarat Ini!
Bagi Wajib Pajak Badan yang baru terdaftar atau beralih dari skema UMKM, angsuran PPh Pasal 25 ditetapkan nihil pada tahun pertama.
Wajib Pajak Badan memiliki kewajiban memotong dan memungut pajak dari lawan transaksi, yang mencakup :
Pajak Penghasilan atau PPh Unifikasi merupakan penyederhanaan administrasi pajak yang menggabungkan beberapa pemotongan/pemungutan PPh dalam satu bukti potong/pungut dalam SPT Masa Unifikasi. Pajak yang termasuk dalam skema unifikasi meliputi :
Kepatuhan terhadap ketentuan perpajakan merupakan aspek fundamental dalam menjalankan usaha yang berkelanjutan. Dengan memahami dan memenuhi kewajiban pajak secara tepat waktu sesuai regulasi yang berlaku, Wajib Pajak Badan dapat meminimalkan risiko sanksi, mengoptimalkan pengelolaan keuangan, serta menjaga stabilitas dan kredibilitas usaha dalam jangka panjang.
Bagi kamu yang membutuhkan informasi lebih lanjut mengenai artikel ini atau konsultasi perpajakan lainnya, hubungi kami sekarang!
MSM Consulting adalah Tax Consultant Jakarta terpercaya yang telah menangani ratusan klien dari berbagai industri serta melayan jasa konsultan pajak pribadi secara online maupun tatap muka.